Search Engines with English Only

Custom Search

Search Engines with Various Languages

Custom Search

Amazon Associates Rotating Banner

AdHitz – Image and Flash Ads

Leaderboard Display Ads

RevenueHits Top Bar

Jawa Pos National Network (JPNN)

Saturday, February 13, 2016

“OGOH-OGOH” antara “KREATIVITAS KESENIAN” dan “RITUALITAS KEAGAMAAN”

 

 

“Ogoh-Ogoh” sebagai “Kreativitas Seni”

   

   

“Ogoh-Ogoh” sebagai “Ritualitas Agama”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejarah Ritualitas Keagamaan, “Ogoh-Ogoh”

Penamaan Ogoh-Ogoh diambil sebuah kata dalam Bahasa Bali “Ogah-Ogah” yang artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Memang pada kenyataannya ketika Ogoh-Ogoh diarak keliling suatu wilayah tertentu biasanya para pengarak akan mengoyang-goyangkan Ogoh-Ogoh mereka sehingga terlihat bergerak-gerak atau seperti sedang menari. Selain itu, pose Ogoh-Ogoh yang beragam juga menyebabkan antara Ogoh-Ogoh satu dengan yang lainnya akan memiliki gerakan yang berbeda jika digoyangkan. Bahkan kini dengan semakin majunya teknologi, Ogoh-Ogoh banyak yang bisa digerakkan dengan bantuan mesin atau alat lainnya.

Ogoh-Ogoh merupakan salah satu tradisi Umat Hindu khususnya di Bali dalam menyambut Hari Raya Nyepi. Tradisi mengarak Ogoh-Ogoh di Bali biasa disebut dengan “Pengerupukan”. Nah kegiatan Pengerupukan biasanya dilakukan tepat sehari sebelum menjalang Hari Raya Nyepi, jatuhnya pada hari panglong 15 yang bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati) sasih kesanga. Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara Butha Yadnya guna menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat jahat dan keburukan, seperti dengan melakukan pecaruan Tawur Kesanga yang dalam sekala besar-besaran.

Ritual Ogoh-Ogoh sendiri sudah dikenal sejak jaman Dalem Balingkang di mana pada saat itu Ogoh-Ogoh dipakai pada saat prosesi upacara Pitra Yadnya atau yang lebih dikenal dengan Ngaben. Ada pula pendapat lainnya yang menyebutkan bahwa Ogoh-Ogoh terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding guna mengusir roh jahat yang dilakukan oleh sebuah sebuah desa yang berada di dekat Selat Karangasem, Bali. Perkiraan lain juga muncul dan menyebutkan bahwa ada sebuah barong raksasa yang bernama Barong Landung yang merupakan perwujudan dari Raden Datonta dan Sri Dewi Baduga (pasangan suami istri yang berparas/berwajah buruk dan menyeramkan yang pernah berkuasa di Bali) yang konon kisahnya merupakan cikal-bakal dari Ogoh-Ogoh yang kita kenal pada saat ini. Informasi lain juga menyatakan bahwa Ogoh-Ogoh itu muncul sekitar tahun 70-an. Berdasarkan keterangan yang dihimpun, munculnya Ogoh-Ogoh itu di kota Denpasar itu berawal hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang saja dengan tujuan sebagai permainan anak-anak. Namun, karena dipandang sesuai untuk dipergunakan menjadi penunjang simbolisasi perayaan Tawur Kesanga, Ogoh-Ogoh akhirnya dipakai sebagai rangkaian ritualitas pada perayaan Nyepi. Ada juga pendapat yang menyatakan ada kemungkinan Ogoh-Ogoh itu dibuat oleh para pengerajin patung yang telah kejenuhan mematung batu padas atau kayu, namun disisi lain mereka juga ingin menunjukan kemampuannya dalam mematung, sehingga timbullah suatu ide guna membuat sebuah patung dari bahan yang ringan supaya hasilnya nanti bisa diarak pada saat hendak dipertunjukan.

Akan tetapi terlepas dari semua kontroversi perbedaan mengenai kisah riwayat atau sejarah munculnya ritual Ogoh-Ogoh tersebut, yang pasti bahwa rangkaian upacara ritualitas keagamaan ini dilakukan tepat sehari sebelum menjalang Hari Raya Nyepi, dan mulai dikenal dan dinamai sebagai “Ogoh-Ogoh” sejak sekitar tahun 1980-an.

 

 

“Ogoh-Ogoh” sebagai “Ritualitas Agama”

 

 

Jalannya Rangkaian Upacara Ritualitas Keagamaan, “Ogoh-Ogoh”

Dalam rangkaian upacara ritualitas keagamaan tersebut, dimulai semenjak Sandi Kawon (pada sore hari menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara “Magegobog” atau di daerah Jembrana biasanya disebut dengan “Mebuwu-Buwu”, yaitu mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa Api Perakpak (api yang berasal dari dibakarnya daun kelapa kering), obor, bunyi-bunyian, menyemburkan nyala api dan memercikkan tirta, sebagai simbol “Somio” (yang bermakna menetralisir/mengembalikan kepada sumbernya) kekuatan-kekuatan yang bersifat keburukan/kejahatan. Setelah kegiatan Magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan dengan berjalan keluar dari pekarangan membawa perangkat tadi menuju ke jalan utama di Desa atau di Kota masing-masing, untuk kemudian bergabung dengan para tetangga, yang tadinya juga sudah melakukan kegiatan ritual yang sama seperti ritual tersebut di atas. Dan tanpa adanya komando, pada umumnya acara Magegobog tersebut akan dilanjutkan dengan cara berjalan kaki mengikuti arak-arakan yang mengusung semacam patung, dan menyusuri jalan utama, di mana akan terbentuk menyerupai Pawai Obor.

Ritual tersebut dilakukan pada setiap Pengerupukan, tepatnya pada saat menjelang petang sampai malam harinya, sehingga menjadi semacam hiburan/tontotan bagi masyarakat sambil berarak-arakkan bersama-sama berjalan kaki menyusuri jalan utama diikuti oleh rombongan lainnya yang terus-menerus bertambah jumlahnya, datang dari segala penjuru kampung. Mereka berdatangan sambil mengusung semacam patung, yang mana bahan pembuatan patung tersebut adalah dengan tak melupakan atau dengan diikut-sertakannya komponen terpenting pada proses pembuatannya, yakni dengan disertai adanya unsur yang bersumberkan dari Somi (Merang Padi) sebagai simbol “Somio”, dan wujud dari patung tersebut adalah menyerupai suatu bentuk dari “Butha Kala” dengan muka/wajah yang amat menyeramkan, yang kini dinamakan dengan “Ogoh-Ogoh” (ada pula yang menyebutnya dengan “Ondel-Ondel” ataupun “Rangda-Rangdaan”, dan berbagai sebutan lain sebagainya).

“Ogoh-Ogoh” adalah merupakan suatu perwujudan dari simbol “Kemungkaran” dan “Kebatilan” yang akhirnya akan disomio/dinetralisir setelah melalui serangkaian ritual arak-arakan berkeliling dan menyusuri jalan-jalan utama di hari Pengerupukan tersebut, yang mana disepanjang perjalanannya sang “Ogoh-Ogoh” itu senantiasa sambil selalu digoyang-goyangkan dan sesekali diputar-putarkan, dan juga sambil membunyikan suara kentongan/kul-kul yang bertalu-talu disertai dengan benda-benda lainnya yang bisa mengeluarkan berbagai bebunyian yang terdengar nyaring suaranya guna berperan sebagai pengiring perjalanannya sang “Ogoh-Ogoh” tersebut, dan bahkan tak jarang pula ada yang diarak dengan memakai iringan gamelan dan gong sebagai bebunyiannya. Dan pada akhir acara patung yang dinamakan dengan “Ogoh-Ogoh” tersebut lalu diarak dan dibawa menuju ke sungai atau ke pantai untuk kemudian dibakar (disomio/dinetralisir) “Kemungkaran” dan “Kebatilan” -nya.

 

 

“Ogoh-Ogoh” sebagai “Kreativitas Seni”

 

 

“Ogoh-Ogoh” Sebagai Sebuah Kreativitas Kesenian

Di sisi lain, Ogoh-Ogoh itu sendiri adalah merupakan sebuah Karya Seni pembuatan Patung yang bernuansakan khas Kebudayaan Bali di mana untuk mewujud-nyatakan gambaran terhadap kepribadian sang “Butha Kala” dengan muka/wajah yang amat menyeramkan sebagai simbol “Kemungkaran” dan “Kebatilan” yang ada di dunia ini, yang mana pada akhirnya akan disomio/dinetralisir setelah melalui serangkaian ritual Ogoh-Ogoh itu sendiri. Sebab di dalam ajaran Hindu Dharma, “Butha Kala” merupakan presentasi dari “Kekuatan” (“Bhu”) pada Alam Semesta dan “Waktu (“Kala”) yang tak terukur dan tak terbantahkan adanya. Dalam pembuatan patung yang dimaksudkan dengan tokoh “Butha Kala” tersebut, maka digambarkanlah sesuatu sosok yang amat besar dan dengan rupa wajah/muka yang menyeramkan/menakutkan sekali; biasanya diwujud-nyatakan dalam bentuk Raksasa yang Buruk rupa.

Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan akan Keinsyafan Manusia terhadap kekuatan pada Alam Semesta dan pada waktu yang Maha Dahsyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan “Bhuana Agung” (kekuatan pada “Alam Raya”) dan kekuatan “Bhuana Alit (kekuatan pada “Diri Manusia”). Dalam pandangan Tattwa (Filsafat), kekuatan ini dapat menghantarkan makhluk hidup, terlebih khususnya adalah manusia, dan juga seluruh isi dunia yang fana ini menuju kepada kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada “Niat Luhur” dari dalam diri manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia guna menjaga dirinya beserta seluruh isi dunia ini.

Wujud Ogoh-Ogoh sebagai ‘lukisan’ terhadap kepribadian sang “Butha Kala” dengan muka/wajah yang amat menyeramkan, di mana sebagai simbol “Kemungkaran” dan “Kebatilan” yang ada di dunia ini, semulanya adalah berbentuk Raksasa yang Buruk rupa, maka kini wujud Ogoh-Ogoh sering pula digambarkan dalam bentuk makhluk-makhluk yang hidup di “Tribuana” (lihat penjelasannya pada Paragraf berikutnya), di “Sorga” dan di “Naraka”; bentuk makhluk-makhluk tersebut seperti: Naga, Gajah, Widyadari. Dan bahkan di dalam perkembangannya, wujud Ogoh-Ogoh ada juga yang dibuat dalam bentuk menyerupai orang-orang yang terkenal, seperti: para pemimpin dunia kejahatan, artis/selebritis yang buruk rupa ataupun tokoh-tokoh kejahatan lainnya. Terkait hal ini, ada pula yang berbau Politik maupun SARA, walaupun sebetulnya hal ini telah menyimpang jauh dari prinsip dasar Ogoh-Ogoh tersebut yang semula, sebagai contohnya adalah Ogoh-Ogoh yang menggambarkan seorang “Teroris”.

“Tribuana” itu sendiri di dalam Hindu Dharma dipercayai adalah merupakan wujud dari Tiga buah Jagat, yaitu: “Jagat Mayapada” (“Dunia Kedewatan”), “Jagat Madyapada” (“Dunia Makhluk Halus”), dan juga “Jagat Arcapada” (“Dunia Fana” atau dunianya kehidupan manusia di Bumi ini).

 

 

“Ogoh-Ogoh” sebagai “Kreativitas Seni”

 

 

Festival Kreativitas Seni Pembuatan “Ogoh-Ogoh”

Terlepas dari semuanya itu, ritual budaya ini semakin meluas setelah Ogoh-Ogoh juga disertakan dalam arak-arakan pawai Pesta Kesenian “Bali XII”. Dan event ini telah memberikan warna baru buat menunjang perayaan menjalang Hari Raya Nyepi guna membuka ajang kreatifitas, serta sebagai alat pemersatu generasi muda di jaman Millennium ini. Hal ini tentunya merupakan kewajiban Kita semua guna menjaga dan melestarikan adanya budaya perayaan Ogoh-Ogoh ini, sehingga dapat berjalan sesuai dengan makna dan tujuan awal-mulanya, yakni sebagai penunjang menjalang Hari Raya Nyepi guna menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat jahat dan keburukan, serta juga sebagai bahan perenungan bagi Kita semua pada umumnya dan terlebih khususnya adalah bagi Umat Hindu di Bali dalam menghadapi adanya pengaruh-pengaruh buruk/jahat di dalam kehidupan di dunia yang fana ini.

Biasanya sebelum malam Pengrupukan, diadakan Festival Ogoh-Ogoh, di mana Ogoh-Ogoh yang telah mendaftar dan masuk seleksi akan dilombakan, seperti biasanya Festival ini dilakukan di kawasan Lapangan Puputan Niti Mandala, Renon – Denpasar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi untuk karya Ogoh-Ogoh yang benar-benar memiliki nilai seni tinggi dan sarat makna. Ogoh-Ogoh yang dilombakan tentu saja bukan sembarang Ogoh-Ogoh, karena biasanya telah diseleksi terlebih dahulu kelayakannya untuk mewakili daerah atau banjarnya masing-masing. Ogoh-Ogoh yang layak mengikuti festival harus memiliki sisi artistik, kerapian, tema, serta sisi pertunjukkan. Biasanya Ogoh-Ogoh memiliki tema seputar cerita pewayangan atau cerita Hindu lainnya. Selain itu, ketika sampai di perempatan Patung Catur Muka, Puputan, Denpasar, Ogoh-Ogoh ini harus menunjukkan atraksi atau tarian khusus yang mencerminkan tema yang dibawakan di depan para juri yang berasal dari kalangan seniman. Dengan diiringi Gambelan Bali yang khas serta tarian-tarian yang menawan, Festival Ogoh-Ogoh ini selalu menyedot perhatian penonton lokal maupun mancanegara.

Festival Ogoh-Ogoh di Lapangan Puputan biasanya berlangsung beberapa jam sebelum Sandi Kala atau senja. Setelah festival selesai, dilanjutkan dengan malam Pengrupukan dengan parade Ogoh-Ogoh bebas yang diikuti oleh banjar-banjar di sekitaran kawasan ini. Parade ini biasanya bisa berlangsung hingga tengah malam tergantung banyaknya Ogoh-Ogoh yang diarak menuju jantung kota Denpasar ini. Selain di Denpasar, terdapat juga beberapa festival Ogoh-Ogoh di Kabupaten lainnya seperti Gianyar, Badung, atau Buleleng. Namun, kadang-kadang festival Ogoh-Ogoh ini dilaksanakan tidak pada saat Pengrupukan melainkan pada saat ada event-event khusus seperti Ulang Tahun Kota, dan lain sebagainya.

 

 

1 comment:

Jawa Pos National Network (JPNN)

 

Social Media News Feed of Mr. President “JOKOWI” or His Excellency Joko Widodo :